Minggu, 05 Juni 2016

Pelanggaran Perlindungan Konsumen

0



PELANGGARAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

  I.      PENGERTIAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pengertian konsumen sendiri adalah orang yang mengkonsumsi barang atau jasa yang tersedia dimasyarakat baik untuk digunakan sendiri ataupun oranglain dan tidak untuk diperdagangkan. Padahal perlindungan konsumen itu sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Th, 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

II.      HAK DAN KEWAJIBAN BAGI KONSUMEN DAN PELAKU USAHA
Berdasarkan pasal 4 dan 5 undang-undang nomor 8 tahun 1999, hak dan kewajiban konsumen antara lain:
a.    Hak dan Kewajiban Konsumen
Ø  Hak konsumen
1.     Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa
2.    Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa, sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3.    Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa
4.    Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan
5.    Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
6.    Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7.    Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosialnya
8.    Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
9.    Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Ø  Kewajiban konsumen

1.     Membaca, mengikuti petunjuk informasi, dan prosedur pemakaian, atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa demi keamanan dan keselamatan
2.    Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa
3.    Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4.    Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut

b.    Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut:
Ø  Hak pelaku usaha
1.     hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan
2.    hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
3.    hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4.    hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan
5.    hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Ø  Kewajiban pelaku usaha
1.     Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2.    Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3.    Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan, pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen
4.    Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar nutu barang atau jasa yang berlaku
5.    Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi atas barang yang dibuat maupun yang diperdagangkan
6.    Memberi kompensasi, ganti rugi atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan
7.    Memberi kompensasi ganti rugi apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

III.      ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yakni:
1.     Asas Manfaat
Adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2.    Asas Keadilan
Adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3.    Asas Keseimbangan
Adalah memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.

4.    Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Adalah untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5.    Asas Kepastian Hukum
Adalah pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

IV.      TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Tujuan perlindungan konsumen meliputi:
1.     Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.    Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa.
3.    Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4.    Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat informasi.
5.    Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6.    Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

  V.      PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.     larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.  larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.  larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
§  Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
§  Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
§  Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
§  Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
§  Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
§  Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
§  Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
§  Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
§  Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
§  Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri.Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah.Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha.Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar   tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
  • Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
  • Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
  • Bekas: sudah pernah dipakai.
  • Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar.Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi.Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang.Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh.Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

VI.      TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28.di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
  • Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
  • Cacat barang timbul pada kemudian hari.
  • Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
  • Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

VII.      SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
§  Pengembalian uang atau
§  Penggantian barang atau
§  Perawatan kesehatan, dan/atau
§  Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi

Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana :
Kurungan :
§  Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2),  15, 17  ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
§  Penjara, 2 tahun, atau denda Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian 
* Hukuman tambahan , antara lain :
          o Pengumuman keputusan Hakim
          o Pencabuttan izin usaha.
          o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
          o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
          o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat.

CONTOH KASUS PELANGGARAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Jajanan Sekolah di Depok Mengandung Formalin

TEMPO.CO, Depok- Dinas Kesehatan Kota Depok menemukan berbagai macam zat pengawet berbahaya dalam jajanan Sekolah Dasar (SD) di Depok. Razia terhadao 55 SD sejak Mei 2013 yang diuji di laboraturium Institut Pertanian Bogor (IPB). Hasilnya, jajanan tersebut mengandung zat seperti formalin, boraks, pewarna tekstil, pemanis buatan atau siklamat, dan bakteri e-coli.

"Ini yang harus menjadi perhatian semua pihak," kata Kepala Dinkes Kota Depok, Lies Karmawati, Rabu, 9 Oktober 2013.

Sampel jajanan diambil petugas Dinas Kesehatan pada 13-27 Mei 2013 selanjutnya dibawa ke laboratorium ITB Bogor. Dari 55 sekolah yang dijadikan sample itu, ada 30 sekolah yang jajanannya menggunakan formalin; 27 sekolah menggunakan boraks; 12 sekolah menggunakan pewarna tekstil; sebanyak 41 sekolah menggunakan pemanis buatan atau siklamat; dan di 17 sekolah jajanannya mengandung bakteri e-coli.

Lies mengatakan, pemeriksaan sampel makanan secara terus-menerus sejak 2006. Sepanjang waktu itu penggunaan zat makanan yang berbahaya masih banyak. Saat ini, total sudah ada 372 sekolah yang sudah diambil sampel jajanannya. Bahkan, sebagian penjual adalah orang yang pernah diambil sampel makanannya. "Namun ada juga yang baru dan jajanannya berbeda," katanya.

Kepala Seksi Pengawasan Obat dan Makanan Dinas Kesehatan Kota Depok, Yulia Oktavia mengatakan banyak pedagang yang menggunakan pemanis buatan yang melebihi takaran. Padahal, penggunaan zat berbahaya bisa menyebabkan kanker. Penggunaan bahan berbahaya itu melanggar Undang-undang nomor 7 Tahun 1996 tentang perlindungan pangan. "Tapi kami tidak memberikan tindakan represif melainkan persuasif," kata dia.

Kesimpulan:
Berdasarkan kasus diatas secara kesimpulan, jajanan anak sekolah zaman sekarang sudah tidak aman di konsumsi karena banyak mengandung bahan-bahan terlarang untuk di konsumsi oleh manusia sebab akan mengakibatkan penyakit didalam tubuh kita dari berbagai penyakit kanker. Bahan-bahan seperti boraks, pewarna tekstil, pemanis buatan, itu sangat bahaya bagi tubuh manusia. Sebaiknya bagi orang tua untuk memberikan makanan bekal dari rumah untuk anak agar ia tidak jajan diluar karena jajanan anak sekolahan sudah banyak mengandung bahan-bahan terlarang untuk dikonsumsi. Bagi Dinas Kesehatan untuk terus memantau makanan yang dijual oleh penjual nakal agar kita tidak mengonsumsi makanan yang terbuat dari campuran bahan-bahan berbahaya untuk dikonsumsi.

SUMBER: